Anak Haram? Hell No!!

By: Lembayung

Lepas dari hangar-bingar peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli lalu, saya sempat kepikiran seorang teman kecil nun jauh di desa sana. Waktu itu umurnya masih 10 tahun, kelas V SD. Sebutlah namanya Kustining. Cantik dan menarik. Cantik karena kulit putih dan rambut lurus legam warisan dari ayah biologisnya yang keturunan Tionghoa dipadu dengan mata bulat penuh dan bibir tipis ibunya yang asli Kebumen. Menarik karena Kustining kecil adalah pribadi yang lincah, supel dan pintar. Selalu terlihat menonjol diantara deretan wajah berpeluh dan gosong ditimpa matahari pagi-siang yang menyertai perjalanan 3-4 km mereka berangkat-pulang sekolah. Mungkin Kustining sedikit beruntung karena rumahnya dekat dengan sekolah, hanya 500 meter,sehingga Kustining kecil sering menghabiskan sore hari selepas sekolah untuk bercerita dan bercanda bersama saya, Sang Mbak KKN-Universitas UGM… (hahahaha…begitu biasanya warga desa menyebut kami,penyebutan Universitas UGM, mirip dengan penggunaan kata handphone genggam, but it’s ok). Kustining suka diajari menyanyi, suaranya bersih dan ringan. Kami suka sekali mengajari dia bermacam-macam hal, seperti menyanyi, menari, mengoperasikan komputer, dan cara memijat yang enak (nah, kalau ini sih memang karena ada maunya, hi…hi…hi…) karena dia memang sangat cepat menyerap informasi.

Kami tak pernah tahu kalau Kustining kecil hanya hidup bersama neneknya saja. Ibunya bekerja di Jakarta, dan ayahnya entah kemana, sampai ketika kami membuat program Pembuatan Akte Kelahiran Massal untuk desa itu. “Ning, rika uwis nduwe Akte Lair?” (Ning, kamu sudah punya akte kelahiran?) tanya saya di suatu sore kering di bulan Agustus. Saya menambahkan penjelasan sederhana tentang apakah akte kelahiran itu, dan memintanya untuk menanyakan pada ayah-ibunya. “Biyunge tidak ada,Mbakayune…, adanya mak’e (sebutan untuk neneknya).” Jawabnya sambil memainkan rambut ekor kudanya. “Bapake rika, Ning?” tanya saya masih belum mengerti. “Bapake ora weruh.” (Bapak,tidak tahu) jawabnya lagi, masih memainkan ekor kudanya,kali ini tangannya sambil meraih mouse dari tangan kanan saya. Saya memandanginya memainkan solitaire dan kepala saya berdengung-dengung, Bapake ora weruh….., Bapake ora weruh….., Bapake ora weruh…..

Esok harinya saya mendapat cerita yang lengkap dari sang nenek ketika saya berkunjung ke rumahnya. Ibu Kustrining dihamili oleh seorang laki-laki yang lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan ratusan juta sperma. Pasti bukan demikian mas kawin yang diharapkan. Ibunya mencari sang donatur sperma untuk minta dinikahi, bahkan sampai ke Jakarta, kota yang dulu diucapkan oleh si laki-laki sebagai tempat asalnya. Ibu Kustining memang tak menemukan sang donatur, tetapi ibu Kustining tetap memilih berada di Jakarta untuk bekerja di sana. Sesekali dalam beberapa bulan, dia pulang untuk menengok Kustining cantik. Semua warga desa itu sudah mahfum, bahwa Kustining adalah anak haram. Haram? Siapa yang haram? Kustiningkah? Ibunya kah? Ayah biologisnya kah? Orangnya kah? Perbuatannya kah? Sifat pengecutnya kah?

Namun sayang, kami tak bisa membantu Kustining untuk bisa memperoleh akte kelahirannya. Dia hanya mempunyai surat lahir dari bidan kampungnya. Tak ada yang bisa kami lakukan karena persyaratan untuk mendapatkan akte kelahiran adalah: fotokopi KTP orang tua, fotokopi surat pengantar dari kelurahan tempat domisili,surat keterangan lahir anak dari Bidan/Rumah sakit, fotokopi surat nikah orang tua. Ya, Kustining tidak bisa mendaftar untuk mendapat akte kelahiran karena terganjal persyaratan surat nikah orang tua. Entah itu buku nikah cokelat,atau hijau, atau pun selembar kertas yang disahkan oleh pejabat gereja.

Persyaratan akte kelahiran berupa buku nikah merupakan hal yang sangat sensitif. Adalah sebuah hambatan besar, bila seorang anak terlahir dari orangtua yang tidak menikah, karena di beberapa daerah ada yang mencantumkan anak haram atau anak di luar nikah dalam akta kelahiran, hal ini membuat sang anak lebih memilih tidak membuat akta kelahiran daripada membawa status itu sepanjang hidupnya. Anak haram, anak yang diharamkan masyarakat, anak yang selalu tak pernah bersih dari bisik-bisik nyinyir dan tatapan jengah sanak tetangga.

Seorang anak lahir, terlepas lahir dari kondisi apa pun, baik itu anak jalanan ataupun anak di luar nikah tetap punya hak untuk dicatat di Catatan Sipil, yang berarti juga berhak untuk mendapatkan akte kelahiran. Seperti tercantum pada UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:

Pasal 27

(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.

(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.

(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.

Pasal 28

(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.

(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.

(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Tetapi faktanya, Kustining hanyalah satu dari antara sekian juta anak dengan kasus serupa. Seperti saya kutip dari http://www.bkkbn.go.id/article_detail.php?aid=467,

“Sebesar 80 persen dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akta kelahiran, sehingga secara universal, mereka bisa dikategorikan sebagai stateless atau tak punya kewarganegaraan”,

“Indonesia merupakan salah satu dari 19 negara dengan catatan sipil terburuk,” “Indonesia bahkan menempati catatan terburuk soal pencatatan sipil penduduknya di kawasan Asia Tenggara”,

“Di Malaysia saja, 98 persen penduduk telah memiliki akta kelahiran”.

Catatan kelahiran merupakan awal personalitas hukum dan status keperdataan seseorang yang berlaku secara universal. Akta kelahiran menjadi bukti kewarganegaraan seseorang. Jika begitu banyak orang Indonesia yang tidak memiliki akta kelahiran mereka bisa dikategorikan stateless atau tidak memiliki kewarganegaraan yang berlaku di mata hukum.

Memang benar jika kasus banyaknya anak tanpa akte kelahiran ini bukan melulu karena hambatan prosedur dan birokrasi, ketidak pedulian orang tua adalah salah satu penyebabnya juga. Tetapi seharusnya dengan sosialisasi dampak dan manfaat kepemilikan akte kelahiran akan memberikan pengaruh positif bagi warga masyarakat. Saya sudah membuktikan sendiri, bahwa dengan sosialisasi yang terarah membuat warga desa serta merta berbondong-bondong menyediakan berkas persyaratan untuk dikumpulkan dan diproses di pondokan KKN kami. Sayang, masih ada persyaratan dan peraturan yang menjegal hak-hak saudara-saudara dan adik kami yang dicap haram dan jalanan oleh masyarakat. Saya sungguh tidak rela jika anak secantik, sepintar, dan selincah Kustining tidak diakui menjadi bagian dari warna negara Indonesia. Anak haram? Anak bangsa haram? Bangsa haram? Ah… kenapa tidak dihapuskan saja kata haram itu!!

Salam,

Lby (12/08/08)


About this entry